” Tafsir Pluralisme
Dalam Bingkai Pancasila “
Penulis;
Alwan Hidayat, S.Pd.I
Ketua DPD KNPI Sumbawa
Sekretaris Gerakan Pemuda Ansor Sumbawa
Kemajmukan adalah fenomena yang tidak bisa di elak. Karena
kemajemukan adalah keragaman itu sendiri yang mewarnai berbagai bidang dan
ruang kehidupan. termasuk didalamnya adalah keberagaman dalam keyakinan beragama.
Pluralitas sebagai eksistensi dari keragaman bukan hanya
terjadi dalam ruang lingkup kelompok social
besar, seperti dimasyarakat, tapi juga terjadi dalam ruang lingkup yang lebih
kecil, seperti dalam rumah tangga. Bahkan boleh jadi, individu-individu
dalam sebuah rumah tangga Faham serta menganut agama yang berbeda pula.
Sekali lagi, Pluralitas sebagai eksistensi dari keragaman sangat
bisa terjadi pada level penafsiran atas ajaran agama. Jika Pluralitas terjadi pada
level tafsir maka akan melahirkan pluralitas/keragaman pada level aktualisasi
dan pelembagaannya.
Sebagai analogi tentang Tafsir Pluralitas, penulis coba ambil
dalam kontek sejarah perkembangan Islam misalnya, notabene munculnya
Mazhab-mazhab dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran, seperti dalam
bidang Fiqih ada Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali.
Dalam bidang Ilmu kalam ada Mazhab Mu’tazilah, MurJiah, Khawarij,
Jabbariyah dan Qodariyah. Dan dunia Islam juga ada Varian, seperti Sunni dan
Syi’ah. Oleh karena itu, menghadapi kenyataan dunia yang semakin plural, maka
yang dibutuhkan bagaimana mendekati pluralitas sebagai suatu khasana, tapi
tidak justru menjauh dari pluralitas sebagai khasana bangsa sehingga pada
gilirannya kita bisa menyikapi sekaligus menghadapi pluralitas itu sebagai
suatu kenyataan global.
Memang pada awalnya, Pluralisme sebagai faham untuk memaknai
hakikat keberagaman, dipopulerkan pertama kali oleh Jhon Hick sekitar tahun
1854, pasca protes kerasnya terhadap keputusan greja sekitar abad 12 pada masa
Yohanes Damasky.
Di Indonesia sendiri istilah Pluralisme mulai populer pada
Era Pemerintahan Presiden RI ke 5 (,KH.Abdurrahman Wahid). Presiden Republik
Indonesia ke 6, Dr.Susilo Bambang Yudhoyono memberikan Gelar kepada Gus Dur
Sebagai Bapak Pluralisme pada 2009 lalu sebagai penghargaan atas kifrahnya menjaga
semangat Pluralisme sebagai eksistensi dari keragaman Indonesia yang multi
cultural.
Pluralitas dalam
hubungan antar ummat beragama Kuhusnya di Indonesia, itu sudah ada sejak
Zaman Kemerdekaan, yakni dengan adanya
pengakuan secara konstitusional terhadap sejumlah Agama resmi yang diakui oleh
Negara itu sendiri. Dimana hubungan antar ummat beragama di Indonesia menjadi
perhatian khusus dinegara kita sebagaimana tersurat pada pasal 29 ayat 1,2 dalam
UUD 45. Adanya suratan konstitusional tersebut menjadi bukti kuat bahwa Negara
ikut melindungi dan mengayomi antar pemeluk agama yang satu dengan pemeluk
agama lainnya.
Dalam Al-qur’an sebagai tuntunan hidup ummat Islam menjamin
kebebasan Beragama dengan merujuk pada ayat yang berbunyi ” Tidak ada paksaan dalam beragama” dan /
Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
Pluralisme, sesungguhnya adalah tafsir sekaligus perekat dalam
memaknai keberagaman, kemajemukan Indonesia yang begitu heterogen dalam
berbagai segmentasinya, mulai dari agama, suku, adat istiadat, hingga warna
kulit semuanya terformulasikan dalam bingkai Pancasila sebagai dasar Negara dengan
semboyan “ Bhineka Tuggal Ika” (Berbeda
– beda tapi tetap satu jua).
Lantas bagaimana dengan segmentasi agama yang kerap menjadi
penyulut perpecahan?. hingga kerap terjadi perang Claim sebagai ajaran, keyakinan yang paling benar dan suci?. Agamapun sendiri, tidak dipaksa untuk meyakini
sudut pandang plural. Tapi Agama untuk kita yakini sebagai jalan Ilahia, namun disisi
lain pemeluk setiap Agama harus toleran terhadap agama lain dalam bingkai
Muamalah (hubungan kemanusiaan), bukan aqida.
Tafsir Pluralisme dalam bingkai Pancasila harus bisa di
letakkan dalam persfektif kemanusiaan hingga apik yang pada gilirannya akan melahirkan toleransi, namun jika
diletakkan pada dogma suci yang an-sich normatif maka wajah agama tampak garang
(radikal) karena akan melahirkan kontradiksi kemanusiaan dalam wadah NKRI itu
sendiri, sebagai akibat dari truth calim suci dan non suci lintas agama/aqidah.
Pluralisme haruslah diletakkan dalam dudukan kemanusian sementara disisi lain agama haruslah menjadi pintu keimanan bagi setiap
pemeluknya dalam sekup keyakinan tertentu. (wallahualambissawab).