Harmoni di Tana Samawa adalah kegiatan pameran dan pementasan seni yang mengangkat tema tentang perdamaian, keberagaman, dan nilai-nilai toleransi yang dipraktikkan dalam keseharian Tau Samawa (orang Sumbawa) sejak zaman dahulu. Persoalan dikotomi identitas ‘pribumi’ dan ‘pendatang’ masih menjadi isu penting di Kabupaten Sumbawa masa kini, apalagi terkait dengan urusan pengelolaan sumberdaya alam.
Apabila ditelisik lebih mendalam, sejarah mencatat bahwa nilai-nilai toleransi dan sikap terbuka orang Sumbawa untuk hidup berdampingan dengan etnis lain dalam harmoni telah terjalin selama berabad-abad. Hal ini dibuktikan dengan adanya interaksi antar etnis pendatang: Arab, Bugis, Tionghoa, Jawa, Madura, Timor, Bajau, Bali, Lombok, dan Bima dengan masyarakat Sumbawa telah melahirkan akulturasi budaya di Tana Samawa. Akulturasi kebudayaan yang muncul di Tana Samawa ini lahir dari hubungan perdagangan maupun perkawinan yang sehingga etnis pendatang mulai menetap dan membentuk paguyuban/perkampungan di Sumbawa.
Tidak dipungkiri, gesekan-gesekan berskala kecil maupun besar pernah terjadi di Tana Samawa. Kerusuhan yang terjadi di Sumbawa beberapa tahun lalu (Peristiwa 221) membawa kerugian bagi semua masyarakat Sumbawa karena telah mencoreng nilai-nilai toleransi dan perdamaian di Sumbawa. Hal ini tidak dikategorikan sebagai konflik antar etnis akan tetapi pelanggaran adat Sumbawa oleh oknum etnis lain yang belum paham tentang adat dan budaya Sumbawa.
Harmoni Di Tana Samawa adalah gerakan kebudayaan yang mengajak seluruh lapisan masyarakat Sumbawa untuk berefleksi melihat persoalan-persoalan yang muncul dalam interaksi antaretnis sebagai persoalan bersama yang harus dicari solusinya. Menggiatkan kembali silaturrahmi, membuka ruang diskusi, dan mempromosikan terus menerus nilai-nilai toleransi dan saling menghargai antaretnis dan antaragama harus dilakukan untuk meminimalisasi kesalahpahaman agar peristiwa buruk di masa lalu tidak terulang lagi di masa mendatang.
Kegiatan ini terpilih sebagai salah satu penerima Hibah Cipta Perdamaian 2017 yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola dan Kedutaan Denmark serta didukung oleh Dewan Kesenian Sumbawa (DKS), Lembaga Adat Tana Samawa (LATS), dan Pemda Sumbawa.
Hibah Cipta Perdamaian merupakan program Kelola yang didukung oleh Kedutaan Besar Denmark Indonesia, sebagai bentuk kerjasama diplomasi budaya antara Kerajaan Denmark dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hibah Cipta Perdamaian merupakan dukungan bagi kegiatan kesenian dan kreatif seniman-seniman Indonesia Tengah dan Timur yang mendorong upaya terjadinya perdamaian dan rekonsiliasi di wilayah domisili mereka. Untuk tahun 2016, Hibah Cipta Perdamaian menyasar empat wilayah fokus, yaitu Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Kelola adalah organisasi nirlaba berjangkauan nasional yang memberi perhatian pada seni dan budaya Indonesia dengan menyediakan peluang belajar, akses pendanaan, informasi, dan pertukaran budaya. Sejak 1999, Kelola telah mendukung lebih dari 3500 seniman dan pekerja seni Indonesia untuk berkarya, mengembangkan kapasitas, dan memperluas jaringan mereka di bidang tari, musik, teater, dan seni visual.
SCS merupakan komunitas pecinta film yang didirikan pada tahun 2014 di Sumbawa Besar. SCS memiliki tiga kegiatan utama yaitu: 1. Film Literacy, yang diwujudkan dalam kegiatan pemutaran dan diskusi film, 2. Film Training, yang diwujudkan dalam kegiatan pelatihan pembuatan film, dan 3. Film Networking, yang diwujudkan dalam kegiatan membangun jaringan kerjasama dengan komunitas pecinta film di Indonesia. Sejak awal 2017 SCS membuka ruang berkolaborasi dengan jenis kesenian lain di Sumbawa dalam merespon isu-isu lokal dan menggunakan media untuk edukasi publik.
Konsep kegiatan ini adalah sebuah lorong waktu yang merekonstruksi Tana Samawa pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Djalaluddin III (1883 – 1931) dan Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931 – 1958) kedalam beberapa karya seni yaitu teater, instalasi, audio-visual, fotografi, dan pementasan musik tradisi lisan.
Penonton akan diajak untuk memasuki Sumbawa pada masa lalu melaui seni Instalasi karya Hallen Muchlis yang menyuguhkan interaksi beragam etnis di Sumbawa dalam sebuah pasar tradisional dan perkampungan tempo dulu. Untuk memandu penonton memasuki lorong waktu, Audio Tuturan Sultan karya Yuli Andari Merdikaningtyas akan bercerita tentang jejak-jejak interaksi antaretnis, nilai-nilai toleransi dan perdamaian dalam adat dan budaya Sumbawa yang didukung oleh Fotografi 2,5 D Parralax karya Aris Budiman terhadap foto-foto Sumbawa di masa lampau. Sebuah foto lawas yang diambil pada tahun 1920an memperlihatkan Sultan Muhammad Djalaluddin III yang sedang berfoto bersama para pemuka etnis yang ada di Sumbawa menjadi inspirasi Teater Kolosal yang disutradarai oleh Doni Kus Indartountuk merekonstruksi bagaimana persoalan-persoalan yang muncul dari interaksi antaretnis dibicarakan pada masanya. Penonton akan diajak untuk menyelami makna dari adegan-adegan yang akan ditampilkan. Selanjutnya, penonton akan diajak untuk melihat dan mendengar Video Dokumenter karya Anton Susilo tentang proses interaksi, akulturasi, dan menjadi Tau Samawa yang dialami oleh individu-individu dari etnis pendatang. Rasa kecintaan mereka melahirkan kontribusi nyata untuk membangun Sumbawa. Lorong terakhir adalah perayaan keberagaman etnis di Sumbawa dalam Pementasan Musik Etnik dan Tradisi Lisan yang diisi oleh perwakilan etnis yang ada di Sumbawa.
BIOGRAFI SENIMAN DAN PEGIAT EVENT
Yuli Andari Merdikaningtyas. Inisiator kegiatan Harmoni Di Tana Samawa ini lahir di Sumbawa Besar, 29 Juli 1980. Sejak 2005 berkiprah sebagai sutradara film dokumenter yang karyanya telah diputar di berbagai festival nasional maupun internasional diantaranya Jakarta International Film Festival (JIFFest), Tehran International Short Film Festival (Iran), dan Yamagata International Documentary Film Festival (Jepang). Joki Kecil (2005) adalah debut pertamanya (berkolaborasi dengan Anton Susilo) yang memenangkan Eagle Award Documentary Competition sebagai film dokumenter terbaik dan Favorit Pemirsa di Metro TV. Selain membuat film, ia juga mengabdikan ilmunya sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa ( FIKOM UTS) yang sedang bersiap studi lanjut melalui beasiswa pemerintah Indonesia LPDP.
Aris Budiman. Lahir 13 Januari 1990. Menekuni fotografi dan desain grafis sejak 2011. Karyanya 2,5 D Parralax terhadap foto-foto lama koleksi Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) merupakan debutan dan kolaborasi perdananya memadukan fotografi dengan audio dalam kegiatan Harmoni Di Tana Samawa.
Anton Susilo. Sutradara film pendek (fiksi dan dokumenter) ini lahir dan besar di Yogyakarta, 18 Desember 1979. Kolaborasinya dengan Yuli Andari M sejak 2005 membuatnya akrab dengan isu-isu sosial budaya yang ada di Sumbawa. Beberapa karyanya telah diputar di beberapa festival nasional dan internasional antara lain Broken Wings Bird (2002), Joki Kecil (2005), Satu Harapan (2011), dan Menyambung Nasib Di Negeri Orang (2015). Bersama beberapa teman mendirikan Sumbawa Multimedia.
Doni Kus Indarto lahir 5 Mei 1969. Sejak 2010 mendirikan dan mengasuh kelompok teater Ruang Karakter di Malang. Saat ini sedang mengembangkan konsep teater diri. Kiprahnya sebagai sutradara teater dibuktikan dalam karya-karya: Rumah Yang Dikuburkan karya Sam Shepard (2010), Boikot Kucing, adaptasi Lysistrata karya Aristophanes (2011), dan Soliloquy (2016)
Nur Fajri Saputra lahir di Sumbawa Besar, 27 Januari 1986. Pegiat teater yang akrab dipanggil Aik ini adalah koordinator Teater Kolosal yang akan merekonstruksi peristiwa sejarah Sumbawa masa lalu dalam Harmoni DI Tana Samawa. Ia berperan sebagai Datu Busing dalam ”Rembulan Tertutup Matahari” oleh Laskar Raboran (2009).
Hallen Muchlis lahir di Sumbawa Besar, 30 Juli 1978 . Seorang desainer sekaligus pemilik ”Kre Berek” kaos oblong yang desainnya bertema khas Sumbawa. Baru-baru ini ia menggagas kegiatan Sumbawa Visual Arts sebagai ruang berekspresi seniman-seniman muda Sumbawa. Dalam Harmoni Di Tana Samawa, ia akan menyuguhkan kembali Sumbawa pada masa lalu melalui karya seni instalasi.
Reny Suci lahir di Sumbawa Besar, 17 Agustus 1985. Alumni kompetisi film cerita pendek LA Lights Indiemovie 2009 ini mengawali karirnya sebagai production assistant di beberapa film dan serial drama, hasil produksi SET Film yang diproduseri oleh Garin Nugroho. Selain berkutat di bidang produksi, ia juga aktif di kegiatan workshop film sebagai programmer assistant di workshop LA Lights Indiemovie tahun 2012 – 2013 dan menjadi event coordinator untuk Anti Corruption Film Festival 2014 – 2015 yang diselenggarakan di 14 kota di seluruh Indonesia. Kini Reny Suci mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Sumbawa (FIKOM UTS).
Ifa Sarifatia lahir di Sumbawa Besar, 21 Oktober 1990. Tertarik dengan dunia face and body painting sejak awal 2016. Ikut berpartisipasi dalam acara “Pameang Umen Tana Samawa”. Acara ini adalah debut awalnya dalam memperkenalkan face and body painting kepada masyarakat Sumbawa.
PEGIAT ACARA
Inisiator/Direktur Kreatif: Yuli Andari Merdikaningtyas
Direktur Kreatif: Anton Susilo
Manajer Acara: Reny Suci
Koordinator Teater: Nur Fajri Saputra
Sutradara Teater: Doni Kus Indarto
Asisten Sutradara: Abdul Hakim, S.Pd, Andi Kurniawan
Penanggung Jawab Kostum: H. Hasanuddin, S.Pd
Asisten Manajer Acara: Galuh Yanita
Keuangan: Ifa Sarifatia
Asisten Keuangan: Nurnaningsih
Direktur Artistik: Hallen Muchlis
Koordinator Pementasan: Poly Zikri
Make Up: Yudhi Arisandi
Sanggar Teater SMK 1 Sumbawa
Sanggar Teater Tekno SMK 2 Sumbawa
Sanggar Teater Pijar SMA N 3 Sumbawa
Sanggar Teater Medika SMK Kesehatan Al – Maarif Sumbawa
Sanggar Teater MAN Ababil
Sanggar Teater PMMI UNSA
Sanggar Teater Olat Malas UTS
(Joko Pitoyo kmp. media)